Jakarta – Kelompok warga masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) melayangkan laporan pengaduan masyarakat ke lembaga Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Kamis, 21 Januari 2021. Pengaduan masyarakat itu terkait dugaan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Jaksa Budi Atmoko, SH, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus kriminalisasi warga Leo Handoko yang saat ini perkaranya sedang bergulir di Pengadilan Negeri Serang.
“Kami menilai JPU Budi Atmoko, SH ini tidak profesional, dan bahkan diduga merekayasa kasus Leo Handoko yang hanya dilaporkan pasal pemalsuan dokumen oleh pelapor Mimihetty Layani, direkayasa menjadi tersangka penipuan [1]. Ini sudah tidak benar, JPU itu punya niat buruk hendak memenjarakan orang tanpa didukung bukti dan fakta lapangan yang kuat,” ungkap Edi Suryadi, salah satu Koordinator Regional PPWI, di Jakarta, Jumat (22-01-2021.
Selain itu, tambah Edi Suryadi, dirinya menduga bahwa ada tekanan kepada JPU itu bahwa dia harus berhasil menggiring palu hakim memutuskan Leo Handoko bersalah.
“Ada dugaan bahwa JPU Budi Atmoko ini ditekan dari atas, baik oleh pimpinannya di Kejaksaan Negeri Serang maupun dari Kejaksaan Agung. Kalau sudah ditekan begitu, apalagi motivasinya kalau bukan UUD, ujung-ujungnya duit? Mimihetty Layani yang memperkarakan Leo Handoko itu kan pemilik perusahaan Kopi Kapal Api, jadi banyak duitnya,” imbuh Edi Suryadi yang juga menjabat sebagai Sekjen Topan-RI itu.
Sejalan dengan Edi Suryadi, Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyampaikan bahwa pihaknya terpaksa melaporkan Jaksa Budi Atmoko agar kebiasaan merekayasa kasus tidak menjadi budaya di kalangan jaksa.
“Saya sudah sampaikan pada pernyataan publik terdahulu bahwa kebingungan JPU ini berawal dari proses penyidikan di Bareskrim Polri yang penuh kelicikan dan rekayasa kasus untuk mendapatkan sejumlah rupiah [2]. Penyidik Binsan Simorangkir yang diduga memeras Leo Handoko dan kawan-kawan jajaran direksi PT. Kahayan Karyacon sudah kita laporkan ke Kapolri dan Presiden [3]. Nah, giliran Jaksa Budi Atmoko memutar-mutar perkara agar kasus yang seharusnya merupakan ranah perdata ini layak dipidanakan,” jelas Wilson Lalengke kepada media ini, Jumat, 22 Januari 2021.
Wilson bahkan menduga bahwa proses penegakan hukum oleh Kejari Serang dalam kasus pengusaha bata ringan (hebel) di Cikande, Serang, Banten, itu penuh dengan niat menghukum terdakwa, bukan untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Pasalnya, saat Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu mendatangi Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Serang, bersama beberapa rekan media, dia melihat kegalauan pada diri pejabat yang mereka jumpai.
“Saat saya tanyakan soal penambahan pasal 378 tentang penipuan ke dalam surat dakwaan JPU, Kasi Pidum Yogi Wahyu Buana, SH, terkesan mencla-mencle. Awalnya dia bersih-keras menjawab ‘karena ada di dalam BAP Polisi’, namum saat diminta untuk menunjukkan bukti pasal 378 itu tertulis di BAP, Yogi yang terlihat bingung dan galau itu akhirnya berkilah ‘sesuai hasil konsultasi dan arahan pimpinan’. Ini benar-benar konyol, membuat dakwaan berdasarkan arahan pimpinan, bukan atas dasar alat bukti yang ada,” urai lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini keheranan.
Kasi Pidum Yogi, lanjut Wilson, bahkan memberikan keterangan yang absurd, dengan menggunakan kata atau frasa ‘seolah-olah’ ketika ditanyakan apa bukti pendukung yang dijadikan dasar pertimbangan bagi Kejari Serang sehingga memasukkan pasal 378 di dalam surat dakwaan.
“Yogi bilang bahwa dugaan pemalsuan (akte notaris tanpa persetujuan RUPS yang dibuat oleh notaris – red) ini seolah-olah dia (Leo Handoko – red) itu posisinya sebagai direktur keuangan. Saya langsung menyergah, ‘kenapa pakai kata seolah-ol…
@lombokepo