Kajian BPS: Genjot Industri Pengolahan, Solusi Hadapi Dampak Covid-19 di NTB - newsmetrontb

Monday, June 15, 2020

Kajian BPS: Genjot Industri Pengolahan, Solusi Hadapi Dampak Covid-19 di NTB



Mataram - Wakil Gubernur NTB, Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd., menyatakan sependapat dengan hasil kajian BPS NTB terkait dampak pendemi Covid-19 terhadap pertumbuhan sosial ekonomi NTB tahun 2020 dan tahun tahun kedepannya. Ummi Rohmi sapaannya mengakui bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek berantai terhadap banyak sektor. Tidak hanya pada masalah kesehatan, tetapi juga berdampak buruk pada kelesuan dan kemerosotan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi rentan terhadap kehidupan sosial masyarakat NTB.

"Untuk menjaga agar ekonomi kita tidak kolaps, maka program-program kegiatan pada sektor-sektor strategis dan potensial yang bisa menyelematkan pertumbuhan ekonomi dan sosial akan terus dimaksimalkan. Termasuk menggenjot program industrialisasi, khususnya industri pengolahan sebagai leading sektor penggerak pertumbuhan ekonomi NTB," ujar Wagub Umi Rohmi usai mengikuti Pemaparan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, H. Suntono, di Ruang Melati Kantor Gubernur NTB, Senin (15/06-2020).

Wagub mengatakan, paparan data dampak ekonomi dan sosial menunjukkan trend melemah, meski belum negatif. Indikasi utama seperti menjaga konsumsi masyarakat akibat lemahnya daya beli diwujudkan dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang yang seluruh produknya dibeli masyarakat dari UKM dan IKM lokal. 

Selain manfaatnya yang sudah menjangkau hampir seluruh masyarakat miskin dan terdampak Covid 19, kata Wagub, program itu juga diakuinya sebagai kebijakan untuk menstimulus ekonomi, khususnya menghidupkan usaha bagi IKM/UKM. 

"Dan program industri ini telah memberikan multiplier effect," tuturnya.

Untuk stimulus ekonomi, ungkap Ummi Rohmi, pihaknya telah menyediakan anggaran Rp. 100 miliar dari Rp. 500 miliar, yang terdiri dari belanja langsung. Ditambahkan, Asisten administrasi Bidang Ekonomi, H. Ridwan Syah, M.M.,M.Sc.,MTP., bahwa kebijakan stimulus ekonomi tersebut akan terus berlanjut usai skema bantuan yang akan berakhir bulan Juli ini. Stimulus ekonomi tersebut diprioritaskan bagi leading sektor yang bisa menggerakkan sektor lain, jelas Dae Iwan sapaannya.

Dalam paparannya, Kepala BPS NTB, Suntono, S.E., M.Si., menjelaskan, analisa dampak ekonomi ini disandarkan pada dampak pandemi yang terjadi hingga April 2020. Acuannya adalah capaian ekonomi tahun sebelumnya sebagai pembanding. 

Dikatakannya, leading sektor yang akan membuat ekonomi NTB tumbuh adalah listrik, konstruksi dan semua industri, utamanya industri pengolahan. Sementara penyumbang capaian ekonomi dilapis pertama adalah pertanian, industri, disusul sektor tambang.

Kajian ini untuk mengurangi dampak lebih berat dikemudian hari jika diantisipasi dengan kesigapan. Pada triwulan pertama, pertumbuhan ekonomi NTB tumbuh positif, meskipun sangat rendah. Penyebabnya, menurut Suntono karena sektor pertanian sebagai kontributor pertama ekonomi NTB mengalami penurunan dan pergeseran musim panen. 

Sementara kontribusi sektor tambang saling menggantikan dengan sektor perdagangan. Jika tak ada ekspor hasil tambang, maka hanya sektor perdagangan yang berkontribusi.
Itulah sebabnya, kata Suntono akan terjadi kelesuan ekonomi akibat turunnya daya beli masyarakat. Karena jumlah usaha terbanyak, ada disektor perdagangan dan industri non pertanian, terangnya.

"Jadi strategi industrialisasi yang dikembangkan oleh Bapak Gubernur dan Bu Wagub di tengah pandemi ini, sangatlah tepat," jelas Suntono.

Kebijakan itu, menurutnya dapat berpengaruh juga pada perubahan pola hidup yang mempengaruhi penurunan permintaan konsumen. Hal ini mempertegas konsumsi rumah tangga sebagai kontributor ekonomi terbesar, imbuhnya.

Lebih jauh Suntono menjelaskan analisa keterkaitan antar sektor untuk menentukan leading sektor yang harus didahulukan agar bisa menggerakkan sektor lain.

Dalam kesimpulan, BPS merekomendasikan keberlanjutan sektor industri pengolahan, mendorong sektor pariwisata sebagai jalan cepat menggerakkan ekonomi, alokasi stimulus dan insentif yang tepat dan perencanaan ekonomi jangka menengah dan jangka panjang.

Berkaca pada Pertumbuhan Ekonomi NTB Triwulan I 2015-2020, Suntono menjelaskan bahwa Fluktuasi ekonomi NTB sangat dipengaruhi oleh sektor pertambangan. Tanpa sektor pertambangan, maka pertumbuhan ekonomi NTB relatif stabil pada kisaran 4-5 persen selama 2015-2018. Namun, sejak 2019 hingga 2020 terlihat trend yang menurun, jelasnya.

Penurunan pertumbuhan (tanpa tambang) di triwulan I 2020 dimotori adanya penurunan outputsektor konstruksi dan pertanian. Selain itu, beberapa sektor, seperti industri, perdagangan, jasa pendidikan, jasa lainnya, dan jasa perusahaan, tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan triwulan yang sama di tahun 2019. Sektor konstruksi, pertanian, dan perdagangan sendiri merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap penciptaan PDRB NTB.

Ia menjelaskan, secara umum, ekonomi NTB digerakkan oleh 5 sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap terciptanya ‘kue ekonomi’ di NTB.

Kelima sektor tersebut, meliputi pertanian, pertambangan, perdagangan, konstruksi, dan transportasi.

Meskipun besarnya kontribusi masing masing sektor cenderung mengalami pergeseran, namun sektor sektor ini tetap menjadi big five dalam ekonomi NTB selama 2018-2020, khususnya di triwulan I.

Dari sini juga terlihat bahwa COVID-19 yang ditemukan pertama kalinya di NTB pada akhir Maret 2020 belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap struktur ekonomi NTB di triwulan I 2020.

Corak sektor pertanian di NTB didominasi oleh budidaya komoditas tanaman pangan, khususnya padi. Jika di 2018 dan 2019, puncak panen padi berada di bulan Maret, maka di 2020 bergeser menjadi bulan April. Pergeseran musim hujan ditenggarai sebagai penyebab utama bergesernya bulan panen dari Triwulan I menjadi Triwulan II. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab turunnya output sektor pertanian yang tergambar melalui turunnya laju pertumbuhan sektor ini pada triwulan I 2020 (y on y). Jika dibandingkan dengan 2018 dan 2019, sepanjang Januari-Maret 2020, produksi beras merupakan yang terendah.
(jm/edy@kominfo/LNG04)
@lombokepo

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments