Sumbawa Barat - Dalam waktu dekat, Nusa Tenggara Barat akan menjadi salah satu kiblat wisata kelas dunia. Betapa tidak, KEK Mandalika, Lombok Tengah terus berbenah hingga gelaran Motor GP 2021 mendatang. Sadar tidak sadar, tamu-tamu daerah akan mencoba menyasar atau menjamah kearifan lokal semua Kabupaten/Kota bahkan hingga pelosoknya. Baik itu mencicipi kuliner, adat atau budaya.
Nah, ketika para pelancong dunia tersebut berkunjung ke pelosok, tentu wisatawan akan dihadapkan dengan kondisi real (asli) dari daerah itu sendiri. Mereka akan melihat petani bercocok tanam, aktifitas ekonomi, pelayanan publik bahkan sampai kepada kondisi lingkungan dimana mereka berpijak.
Kabupaten Sumbawa Barat merupakan satu dari sepuluh Kabupaten/Kota di NTB yang potensinya tak perlu diragukan lagi.
Daerah dengan motto Pariri Lema Bariri itu memiliki kepariwisataan kelas dunia. Sebut saja dua tempat wisata di Kecamatan Poto Tano, yaitu pesona Desa Mantar, yang dianggap oleh sejumlah paraglider (sebutan atlet paralayang) mirip dengan The Blue Lagoon, Oludeniz, Turkey — bahkan pernah ditunjuk menjadi tuan rumah event Trip Of Indonesia (Troi) seri-III beberapa tahun lalu.
Selain itu, eksotika gugusan gili balu tidak bisa dianggap enteng. Satu dari delapan pulau yang ada, Pulau Kenawa pernah menjadi pilot project pembangunan earthship (rumah ramah lingkungan) yang pelopori oleh arsitek dunia, Mike E Reynold turut membawa mitranya.
Bergeser pada adat budaya, masyarakat memiliki berbagai macam atraksi. Satu diantara sekian yang paling memikat ialah barapan kebo. Yaitu sebuah atraksi memacu sepasang kerbau di arena berlumpur. Menantang dan terbayang asyik, bukan!!.
Dari sektor potensi daerah lainnya juga tidak kalah menarik untuk didalami. Dunia juga tahu, di bawah perut bumi Kabupaten itu terdapat kandungan mineral yang melimpah. PT Newmont menjadi salah satu perusahaan sekaligus saksi sejarah bahwa mereka pernah berekspansi di Kecamatan Sekongkang mengeruk dan mengolah potensi itu.
Atas dasar kekayaan dari perut bumi, membuat masyarakat tergiur ingin meraup pundi-pundi fulus (uang) bahkan berani memilih jalan kontra dengan melabrak aturan perundangan-undangan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu mengolah sendiri hasil Illegal Mining atau akrabnya Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI).
Ketika kita mengangkat topik perbicaraan soal PETI, maka erat hubungannya dengan penggunaan bahan kimia berbahaya yaitu mercuri dan sianida. Dua mineral itu dianggap 'ampuh' oleh pelaku PETI memisahkan emas dengan lumpur setelah di gelondong.
Di KSB, aktifitas PETI masih menggeliat hingga kini. Belum ada sikap dari pemerintah setempat melarang atau menutup paksa meskipun itu melanggar. Hematnya, apakah PETI itu membawa berkah dan keuntungan untuk perbaikan ekonomi masyarakat?
Allahu a'lam bissawaf.
Sebagai instrumen tertinggi negara, pemerintah sejatinya intens memberi pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya penggunaan Hydrargyrum (bahasa latin merkuri) terhadap lingkungan serta mengancam kesehatan manusia.
Berdasarkan hasil uji labolatorium sampel air di salah satu titik di Kecamatan Taliwang, bulan Juli tahun 2013 oleh Dinas KPP Sumbawa Barat, konsentrasi logam Mercuri dalam air 0,466 mg/l. Angka tersebut terpaut jauh dari angka baku mutu yang distandarkan sebesar 0,001 mg/l.
Pelan, tapi pasti. Itulah sepenggal kalimat yang mampu merepresentasekan bahwa PETI ibarat bom waktu yang kehadirannya akan merusak sendi kehidupan. Jangan terlena dan terninabobok dengan primadona profit sesaat. Bijaksanalah untuk jangka panjang karena anak dan cucu kita akan menerima resiko jika habitual ini terus berlanjut. Tinggalkan mata air sebagai sumber kehidupan dan jangan tinggalkan air mata meratapi penderitaan.
Di temui secara terpisah sekretaris Komisi III Masadi, SE menghimbau kepada masyarakat agar aktifitas peti bisa di tinggalkan karena sangat berbahaya bagi lingkungan baik diri sendiri dan masyarakat lainnya.
Ia juga mengatakan agar masyarakat bisa mencoba beralih mencari sumber penghasilan lain dan kepada perusahaan yang mempunyai lahan konsensi di Kabupaten Sumbawa Barat agar segera melakukan eksplorasi di kawasannya agar masyarakat dapat menikmati SDA yang ada untuk meningkatkan ekonomi dan kehidupannya.
"Pemerintah juga diharapkan dapat memberi solusi yang baik kepada para mantan PETI agar diberikan sosialisasi yang baik melalui Dinas tekhnis," katanya.
Begitu pula dengan pariwisata. Para wisatawan tidak menutup kemungkinan akan membatalkan perjalanannya jika kondisi lingkungan kita tidak sehat. Jangan sampai pupus bahwa pariwisata merupakan sektor yang dipersiapkan pasca tambang penggerak ekonomi untuk lebih bergairah.
"Stop! penggunaan merkuri karena multiplier efeknya turut mengancam pariwisata," ujarnya.
Namun, ada hal yang patut menjadi attensi ketika ajakan warning itu digaungkan. Yaitu membongkar kolaborasi pemain, suplier, pemodal dan oknum aparat yang memback-up mulusnya barang tersebut masuk.
Target Pengentasan tidak lepas dari polemik buah karya diatas, Pemerintah RI mencanangkan bahwa tahun 2030 mendatang, Indonesia terbebas dari emisi Merkuri. Untuk mendukung rencana mulia tersebut, anggota legislatif Senayan dan eksekutif tahun 2017 lalu menerbitkan Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Merkuri.
Target tersebut kita kawal. Karena PETI ditemukan bukan hanya di KSB, tapi tersebar di lembaran tanah tanah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Marauke.
Dia juga menjelaskan bahwa potensi parawisata KSB sangat menjanjikan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah, namun perlu dikelolah dengan baik apalagi kalau sampai ikut tercemar oleh limbah-limbah mercury pastinya sangat mempengaruhi pariwisata.
"Karena limbah PETI itu merusak lingkungan dan ekosistem lainnya jadi perlu dicari jalan keluar bersama-sama. Tentunya harus ada niat baik menjaga generasi kedepan agar lebih baik dan masyarakat bisa terhindar dari zat-zat yang berbahaya," pungkasnya. (Ibrahim)
@lombokepo