Mataram - Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB Najamuddin Amy, S.Sos, MM saat menghadiri undangan rilis di BPS NTB, Senin (15/07) mengatakan, Provinsi NTB pascagempa sering diasumsikan dengan daerah yang terpuruk dari sejumlah sektor, salah satunya terkait kemiskinan. Namun berdasarkan perhitungan yang dilakukan BPS NTB dari September 2018 – Maret 2019, persentase penduduk miskin terhadap total penduduk di NTB justru menurun meskipun tipis.
Pendekatan kebutuhan dasar untuk menghitung kemiskinan adalah kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan dasar non makanan. Terkait dengan hal ini, masyarakat NTB pascagempa banyak menerima bantuan makanan dan non makanan dari berbagai kalangan, sehingga terhindar dari kekurangan makanan yang bisa berpengaruh pada naiknya angka kemiskinan.
“ Kita memiliki daya tahan. Karena pasokan makanan dan non makanan selama pascagempa tetap mengalir dari banyak pihak. Sehingga angka 0,07 persen ini harus disikapi sebagai optimisme kita. Saat kita terpuruk pun kita masih bertahan di angka 0,07 persen poin itu,” kata Najamuddin Amy.
Kabid Statistik Sosial BPS Provinsi NTB, Arrief Chandra Setiawan S.ST, M.Si dalam rilisnya mengatakan, selama September 2018 – Maret 2019, garis Kemiskinan naik sebesar 3,03 persen, yaitu dari Rp 373.566,- per kapita per bulan pada September 2018 menjadi Rp 384,880,- per kapita per bulan pada Maret 2019.
“Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Pada Maret 2019, komoditi makanan menyumbang sebesar 74,54 persen pada garis kemiskinan,” kata Arrief.
Jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB pada Maret 2019 tercatat sebesar 735,960 orang (14,56 persen). Pada September 2018, jumlah penduduk miskin di NTB sebesar 735,620 orang (14,63 persen). Memang terlihat angka kemiskinan naik tipis 340 orang selama periode tersebut karena adanya penambahan jumlah penduduk. Namun jika dilihat dari persentase penduduk miskin terhadap total penduduk selama periode September 2018 – Maret 2019 yaitu ada penurunan sebesar 0,07 persen poin.
Pada periode September 2018 - Maret 2019, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di NTB mengalami penurunan dari dari 2,380 pada September 2018 menjadi 2,327 pada Maret 2019. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di NTB cenderung mendekati garis kemiskinan. Kemudian Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga mengalami penurunan dari 0,551 pada September 2018 menjadi 0,478 pada Maret 2019. Ini berarti kesenjangan diantara penduduk miskin semakin mengecil.
Adapun distribusi persentase kemiskinan di 34 provinsi se-Indonesia dari nilai yang paling tinggi ke nilai paling rendah, Provinsi NTB berada diurutan ke 8 tertinggi setelah Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Gorontalo, Aceh dan Bengkulu. Adapun secara nasional, angka kemiskinan berada di angka 9,41 persen.
Ada beberapa faktor yang membuat kondisi NTB tetap bertahan pascabencana, salah satunya karena inflasi yang terus terjaga. Catatan BPS NTB, inflasi di daerah ini dari September 2018 ke Maret 2019 tetap terkendali di angka 1,32 persen. Jika angka inflasi tetap terkendali kedepannya, maka jumlah penduduk yang miskin akan tetap bisa dikurangi.
Selanjutnya yang membuat NTB tetap bertahan yaitu Nilai Tukar Petani (NTP) yang berada di atas angka 100. Dari September 2018 – Maret 2019, angka NTP naik dari 109,76 menjadi 110,46. “ Artinya kesejahteraan masyarakat petani, terutama di pedesaan meningkat, sehingga secara otomatis penduduk miskin akan tertahan” kata Arrief.
Faktor selanjutnya yang membuat persentase penduduk miskin berkurang karena Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). TPT di NTB turun sebesar 0,45 persen dari Agustus 2018 – Februari 2019. “ Faktor tersebut bisa menjadi daya ungkit agar persentase penduduk miskin di Provinsi NTB itu turun,”katanya.
Adapun faktor yang menghambat penurunan angka kemiskinan kata Arrif, salah satunya bantuan program Rastra dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). BPNT di NTB turun sebesar 1 persen dari tahun 2018 ke 2019. Angka tersebut juga berpengaruh. Jika BPNT diberikan kepada yang berhak atau semuanya tepat sasaran, program itu bisa menyumbang penurunan kemiskinan sebesar 0,6. “ Itu menjadi salah satu faktor kenapa penurunanya kok sedikit. Bisa kita seharusnya menurunkan angka kemiskinan lebih tinggi.,” katanya.
Terkait dengan Gini Ratio, pada Maret 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk NTB yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,379. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,011 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,391. Sementara itu jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2018 yang sebesar 0,372, Gini Ratio Maret 2019 naik tipis sebesar 0,007 poin.
Distribusi Gini Ratio 34 provinsi se-Indonesia, dari nilai yang paling tinggi ke nilai paling rendah, maka Provinsi NTB berada diurutan ke 9 tertinggi yaitu 0,379. Angka ini lebih rendah daripada Gini Ratio secara nasional yang berada di angka 0,382. “Kita masih berada di bawah angka nasional. NTB masih untung karena secara nasional yaitu 0,382,” kata Najamuddin Amy.
@lombokepo